Ada yang menarik perhatian saya ketika
menonton La Teta Asustada. Dari sekian banyak relasi yang dibangun
antara tokoh utama, Fausta, dengan tokoh-tokoh lainnya, hanya satu
orang saja yang benar-benar memiliki rasa empati terhadap dirinya :
si tukang kebun.
Hal ini mengingatkan saya, beberapa
waktu yang lalu, entah di mana, membaca sebuah kutipan yang isinya
kira-kira “tukang kebun mampu memahami tanaman lebih baik daripada
orang tua memahami anak-anak mereka”. Saya kira ini relevan dalam
kajian komunikasi antarpribadi. Ketika membicarakan tentang luka
hati, penderitaan, ketidakadilan, trauma, kita tidak membutuhkan
banyak teori, selain menunjukkan rasa empati, memahami penderitaan
orang lain.
Dengan latar belakang sejarah Amerika
Selatan di era 1980-2000, di mana sekitar 70.000 orang dibunuh dan
banyak perempuan Peru diperkosa1,
cerita Milk of Sorrow bisa saja berkembang menjadi sebuah
kisah gegap-gempita perubahan seperti film-film Hollywood pada
umumnya. Lalu, saya mencari tahu siapa sutradara dari sebuah film
ini. Dan ternyata, ada nama Claudia Llosa, perempuan Peru yang juga
menulis naskah dan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan sendiri oleh
aktris Magaly Solier.
Sutradara perempuan, kerap menampilkan
kisah-kisah kolosal menjadi cerita mikroskopik (mungkin karena
perempuan sangat akrab dengan hal-hal domestik yang terkesan
remeh-temeh). Bagaimana jika kisah ini dibuat seperti film-film 'a
big change' lainnya, seperti Philadelphia atau
Hotel Rwanda? Kita
akan melihat perdebatan di ruang sidang. Kita akan menyaksikan para
korban berjuang menuntut haknya. Kita akan menonton sebuah cerita
yang BESAR.
Tapi Llosa tidak
membawa kita ke ruang sidang, atau lapangan pertempuran lainnya. Milk
of Sorrow membawa penonton ke dalam rumahnya sendiri. Menyaksikan
relasi antara para sepupu, paman dan keponakan, ibu dan anak,
antarteman, dan dengan orang asing yang kita temui sehari-hari.
Sebagai penonton,
saya memiliki harapan bahwa akan ada 'hero' yang dapat menolong
Faustakarena saya sudah kehilangan harapan kalau gadis ini mampu
bangkit tanpa uluran tangan orang ke-tiga. Di sini saya melihat dan
mulai mencela tokoh-tokoh yang potensial yang ternyata tak mau
menolong Fausta.
Awalnya, saya pikir
Nyonya Aida, si pianis pemilik rumah besar tempat Fausta bekerja,
adalah tokoh pahlawan yang akan menolong Fausta. Ia mendorong Fausta
untuk bernyanyi dan membayar setiap lagu yang dinyanyikan Fausta.
Kelihatannya ia seperti orang baik, yang memiliki misi mulia untuk
memulihkan mental Fausta. Alih-alih menolong, ternyata ia hanyalah
orang licik yang mendorong Fausta bernyanyi untuk memanfaatkan lagu
tersebut dan dimainkan dalam resital piano yang membuatnya dikagumi
banyak orang.
Ini jadi
mengingatkan saya pada sebuah ungkapan seorang kawan bertahun-tahun
silam yang mengatakan kalau seniman adalah orang paling egois di
dunia ini. Ia hanya melakukan apa yang ia inginkan, bahkan terkadang
dengan cara apapun, memaksa “Fausta” untuk kepentingan dirinya
sendiri. Pada menit 53, ketika Fausta bernyanyi untuk pertama kalinya
di hadapan Aida, demi mendapat sebutir mutiara untuk biaya pemakaman
ibunya, Fausta menyanyikan lagu tentang mermaid sambil
berlinang air mata. Saya kira itu adalah air mata keterpaksaan.
Fausta harus bernyanyi di hadapan orang lain, sesuatu yang tidak
pernah ia lakukan sebelumnya.
Sementara yang
dilakukan si tukang kebun adalah sebuah kegiatan yang sangat
sederhana namun sering kita lupakan : mendengar. Mendengar bukan
hanya suara yang diucapkan, tapi suara yang tak terucap dari bibir
Fausta. Dan tukang kebun itu tak pernah memaksa. Ia menunggu tanpa
tergesa-gesa sampai Fausta menaruh kepercayaan padanya.
Dalam komunikasi,
acap kali kita lupa, atau sengaja melupakan, esensi paling penting
dalam setiap relasi : empati. Entah itu dengan keluarga dan teman,
atau dengan orang asing, kita lebih fokus terhadap apa yang kita
rasakan, bukan pada apa yang orang lain rasakan. Itulah sebabnya,
saya ingin mengajak, terutama diri sendiri, untuk menjadi seperti si
tukang kebun. Ia menanam, merawat, membersihkan, dan terutama
“mendengarkan” apa yang dirasakan tanamannya. Bahkan, pada
tanaman tak berharga, seperti kentang-pun, ia mampu mencari dan
menunjukkan keindahannya.
1http://www.rottentomatoes.com/m/milk_of_sorrow/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar