Rabu, 06 Juni 2012

MARI MENJADI “TUKANG KEBUN”


Ada yang menarik perhatian saya ketika menonton La Teta Asustada. Dari sekian banyak relasi yang dibangun antara tokoh utama, Fausta, dengan tokoh-tokoh lainnya, hanya satu orang saja yang benar-benar memiliki rasa empati terhadap dirinya : si tukang kebun.


Hal ini mengingatkan saya, beberapa waktu yang lalu, entah di mana, membaca sebuah kutipan yang isinya kira-kira “tukang kebun mampu memahami tanaman lebih baik daripada orang tua memahami anak-anak mereka”. Saya kira ini relevan dalam kajian komunikasi antarpribadi. Ketika membicarakan tentang luka hati, penderitaan, ketidakadilan, trauma, kita tidak membutuhkan banyak teori, selain menunjukkan rasa empati, memahami penderitaan orang lain.


Dengan latar belakang sejarah Amerika Selatan di era 1980-2000, di mana sekitar 70.000 orang dibunuh dan banyak perempuan Peru diperkosa1, cerita Milk of Sorrow bisa saja berkembang menjadi sebuah kisah gegap-gempita perubahan seperti film-film Hollywood pada umumnya. Lalu, saya mencari tahu siapa sutradara dari sebuah film ini. Dan ternyata, ada nama Claudia Llosa, perempuan Peru yang juga menulis naskah dan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan sendiri oleh aktris Magaly Solier.

Sutradara perempuan, kerap menampilkan kisah-kisah kolosal menjadi cerita mikroskopik (mungkin karena perempuan sangat akrab dengan hal-hal domestik yang terkesan remeh-temeh). Bagaimana jika kisah ini dibuat seperti film-film 'a big change' lainnya, seperti Philadelphia atau Hotel Rwanda? Kita akan melihat perdebatan di ruang sidang. Kita akan menyaksikan para korban berjuang menuntut haknya. Kita akan menonton sebuah cerita yang BESAR.


Tapi Llosa tidak membawa kita ke ruang sidang, atau lapangan pertempuran lainnya. Milk of Sorrow membawa penonton ke dalam rumahnya sendiri. Menyaksikan relasi antara para sepupu, paman dan keponakan, ibu dan anak, antarteman, dan dengan orang asing yang kita temui sehari-hari.

Sebagai penonton, saya memiliki harapan bahwa akan ada 'hero' yang dapat menolong Faustakarena saya sudah kehilangan harapan kalau gadis ini mampu bangkit tanpa uluran tangan orang ke-tiga. Di sini saya melihat dan mulai mencela tokoh-tokoh yang potensial yang ternyata tak mau menolong Fausta.

Awalnya, saya pikir Nyonya Aida, si pianis pemilik rumah besar tempat Fausta bekerja, adalah tokoh pahlawan yang akan menolong Fausta. Ia mendorong Fausta untuk bernyanyi dan membayar setiap lagu yang dinyanyikan Fausta. Kelihatannya ia seperti orang baik, yang memiliki misi mulia untuk memulihkan mental Fausta. Alih-alih menolong, ternyata ia hanyalah orang licik yang mendorong Fausta bernyanyi untuk memanfaatkan lagu tersebut dan dimainkan dalam resital piano yang membuatnya dikagumi banyak orang.

Ini jadi mengingatkan saya pada sebuah ungkapan seorang kawan bertahun-tahun silam yang mengatakan kalau seniman adalah orang paling egois di dunia ini. Ia hanya melakukan apa yang ia inginkan, bahkan terkadang dengan cara apapun, memaksa “Fausta” untuk kepentingan dirinya sendiri. Pada menit 53, ketika Fausta bernyanyi untuk pertama kalinya di hadapan Aida, demi mendapat sebutir mutiara untuk biaya pemakaman ibunya, Fausta menyanyikan lagu tentang mermaid sambil berlinang air mata. Saya kira itu adalah air mata keterpaksaan. Fausta harus bernyanyi di hadapan orang lain, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Sementara yang dilakukan si tukang kebun adalah sebuah kegiatan yang sangat sederhana namun sering kita lupakan : mendengar. Mendengar bukan hanya suara yang diucapkan, tapi suara yang tak terucap dari bibir Fausta. Dan tukang kebun itu tak pernah memaksa. Ia menunggu tanpa tergesa-gesa sampai Fausta menaruh kepercayaan padanya.

Dalam komunikasi, acap kali kita lupa, atau sengaja melupakan, esensi paling penting dalam setiap relasi : empati. Entah itu dengan keluarga dan teman, atau dengan orang asing, kita lebih fokus terhadap apa yang kita rasakan, bukan pada apa yang orang lain rasakan. Itulah sebabnya, saya ingin mengajak, terutama diri sendiri, untuk menjadi seperti si tukang kebun. Ia menanam, merawat, membersihkan, dan terutama “mendengarkan” apa yang dirasakan tanamannya. Bahkan, pada tanaman tak berharga, seperti kentang-pun, ia mampu mencari dan menunjukkan keindahannya.
1http://www.rottentomatoes.com/m/milk_of_sorrow/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar