Kamis, 25 Juli 2013

Where Do We Go Now?

Apa yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang berduka? Tampaknya, mereka dapat melakukan apapun. Itulah yang ingin diceritakan oleh film Where Do We Go Now?. Film ini berseting di salah satu desa terpencil di Lebanon saat konflik antara umat Islam dan Kristen sedang meruncing. Sekelompok perempuan yang sudah lelah karena terus-menerus berkabung atas kematian kerabat laki-laki mereka melakukan segala usaha untuk mencegah agar pertumpahan darah tidak sampai terjadi di desa mereka. Setiap orang berusaha agar semua berita dan kejadian yang dapat memicu pertikaian tidak terjadi. Mereka membakar koran, menyabotase tayangan televisi, dan menyembunyikan senjata yang ada di rumah mereka.



Situasi di desa tersebut cukup kondusif sampai seorang pemuda Kristen yang ingin mencuri kabel sound system tak sengaja menjatuhkan dan mematahkan salib gereja. Walau sudah ditenangkan oleh pendeta, peristiwa itu memicu kemarahan jemaat yang menuduh bahwa warga Islam-lah yang melakukannya. Keesokan harinya, sekelompok kambing masuk ke dalam masjid dan mengotori karpet alas sholat. Kemarahan jemaat laki-laki dilampiaskan dengan menghancurkan patung Bunda Maria yang ada di depan rumah salah seorang warga. 

Keteganga terjadi di antara kelompok laki-laki berseberangan agama. Sementara para pria berdebat, para wanita terus berusaha memberesakan kehancuran yang dilakukan oleh ayah, suami, dan saudara laki-laki mereka. Para wanita bahu-membahu membersihkan masjid, memperbaiki patung Bunda Maria, dan berusaha mencari cara agar tidak terjadi pertumbahan darah di desa mereka. 

Saat situasi sudah semakin genting, dalam keadaan putus asa, mereka mengumpulkan uang dan menyewa penari erotis dari Ukraina agar dapat mengalihkan pikiran pria-pria di desa mereka. Usaha tersebut, awalnya cukup berhasil. Tetapi, ketegangan-ketegangan kecil masih terus terjadi. Suatu hari, Nassim, pemuda Kristen yang biasanya ke kota untuk menjual hasil desa mereka dan membeli barang-barang keperluan di kota, terjebak di medan pertempuran antara Islam dan Kristen dan terbunuh. Ibu Nassim, Takla, tahu kalau kematian puteranya diketahui oleh saudara-saudaranya, maka perang akan terjadi di desa mereka. Berurai air mata, ia dan puterinya memandikan Nassim dan mengkerek mayat puteranya itu ke dalam sumur serta menyembunyikannya.

Tapi, kematian Nassim akhirnya diketahui oleh putera tertua Takla, Issam, yang sangat pemberang. Tak ingin perang terjadi, Takla memutuskan menembak Issam dan menyandera anaknya sendiri. Sementara itu, situasi di desa tersebut sudah semakin memanas, kedua kubu sudah menyiapkan senjata api dan siap saling bunuh. Para wanita ini akhirnya datang kepada pendeta dan kyiai yang sudah lelah dan ketakutan kalau perang benar-benar terjadi. Akhirnya, walau terdengar gila, kedua pemuka agama tersebut menyetujui ide para perempuan itu. Mereka meminta agar semua pria berkumpul di kedai milik salah Amale. Saat menunggu para pemuka agama tiba, pria-pria yang sudah siap saling bunuh itu disuguhi minuman dan makanan yang sudah dicampur dengan obat-obatan yang memabukkan dan dihibur oleh para penari erotis. Saat para pria sedang mabuk dan bersenang-senang, para wanita keluar dari kedai, menembus gelap malam, mencari senjata yang disembunyikan oleh para pria, mengeluarkannya, dan menguburkannya di tempat lain.

Keesokan paginya, saat para pria terbangun dari mabuknya, para wanita itu melakukan satu kegilaan lain. Wanita-wanita itu saling berganti agama, yang Islam menjadi Kristen dan yang Kristen menjadi Islam. Yang tak berkerudung menutup aurat mereka, dan yang berkerudung memakai baju pendek. Itu mereka lakukan agar perang di desa mereka terhenti. Seperti yang dikatakan Takla saat membebaskan puteranya Issam, "Sekarang aku salah satu dari mereka, apalagi yang akan kau lakukan?"

Film berdurasi 102 menit ini memang tak melulu bicara perang. Ada kekocakan saat para wanita yang sudah lelah berbaju kabung itu membuat rencana-rencana gila. Ada pula kisah cinta antara seorang perempuan Kristen dan laki-laki Islam. Film yang disutradarai dan diperankan serta ceritanya ditulis oleh Nadine Labaki ini mendapat beberapa penghargaan internasional seperti Toronto Film Festival dan San Sebastian Film Festival untuk kategori Best Picture. Harus diakui bahwa film ini jelas menunjukkan sisi feminis sang sutradara. Untuk yang tak suka mengakui bahwa laki-laki adalah sumber dan pelaku peperangan yang membuat kaum perempuan dan anak menderita, memang akan geram pada cerita film ini. Tapi, rasanya kita memang butuh sineas yang mau jujur bertutur bahwa para wanita dan anak-anak lelah dengan semua pertikaian. Pada akhirnya, perempuanlah yang paling menderita. Maka, keputusasaan di tengah duka yang mendalam para wanita Lebanon itu membuat mereka melakukan apapun agar di desa mereka tidak terjadi pertumpahan darah lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar