Minggu, 15 Maret 2015

Fantasy di Paris bersama Para Seniman yang Melegenda

Ah, saya terperangah dengan nama-nama aktor di awal film. Marion Cotillard hingga Adrien Brody, dan mereka bukanlah bintang utama dari film "Midnight in Paris". Tapi pantas saja, ternyata ini adalah film garapan Woody Allen, sutradara kenamaan Amerika Serikat yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia perfilman. Hanya saja, bagi penggemar Woody Allen, mungkin sudah menduga kalau "Mignight in Paris" tidak terlalu mudah untuk dicerna dan ditebak.

Film ini dibuka dengan adegan yang cukup lama. Menunjukkan Paris dari pagi hingga malam. Kemudian, cerita diawali dengan kisah dua kekasih, Gil Pender (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams). Keduanya berlibur bersama kedua orang tua Inez yang kaya-raya. Tak sengaja, keduanya bertemu dengan secret admirer-nya Inez, Paul (Michael Sheen) dan isterinya Carol (Nina Arianda).

Paul yang cerdas dan sangat tegas, membuat Gil sedikit kesal dan akhirnya enggan bergabung dalam perjalanan yang sudah direncanakan Inez. Suatu malam, dalam keadaan mabuk, Gil diajak menumpang oleh beberapa orang yang menaiki mobil klasik. Tak terduga, ternyata mobil tersebut ternyata membawa Gil ke Paris era 1920-an. Era keemasan Paris. Gil yang sedang bergumul dengan novel pertamanya tak menyia-nyiakan pertemuannya dengan tokoh-tokoh luar biasa kala itu. Ernest Hemingway (Corey Stoll) membawanya kepada Gertrude Stein (Kathy Bates) yang memberikan Gil banyak saran untuk novelnya.

Dalam kehidupan malam Paris itu, Gil bertemu dengan  Adriana (Marion Cotillard). Asmara di antara keduanya  pun tak terelakkan. Namun, Gil sadar bahwa ia tak bisa bersama Adriana karena sudah bertunangan. Lagipula, ia hanyalah seorang pendatang di zaman itu, ia tak mungkin bisa menetap di era itu. Selagi Gil sibuk dengan kehidupan malamnya di Paris, tunangannya Inez kesal dan berselingkuh dengan Paul. Di akhir cerita, Gil mengambil keputusan ekstrim untuk meninggalkan Inez dan menetap di Paris.

Secara visual, tentu saja film keluaran 2011, mampu memenuhi harapan semua penonton. Walau cerita yang agak absurd, film ini mampu membawa penonton pada satu nostalgia terhadap masa keemasan di mana seni dan sastra tumbuh begitu subur di Paris. Para seniman dan sastrawan menikmati kehidupan yang bebas, pemikiran yang terbuka. Walau tak lepas dari tekanan kehidupan pada umumnya, namun tak salah jika manusia era kini memandang iri Paris di masa 1920-an. Walau bukan untuk menetap selamanya di masa itu, Gil berhasil menemukan kembali apa yang penting bagi hidupnya dan mengambil keputusan untuk meninggalkan apa yang tak terlalu bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar