Jumat, 08 Juli 2011

INSIDIOUS : FILM BARU DENGAN RAMUAN HOROR YANG JADUL

Film horor bukanlah jenis film favorit saya. Selain karena jarang sekali horor yang cukup cerdas dan artistik, film horor selalu tak memenuhi unsur menghibur karena setelah menonton, biasanya orang justru ketakutan. Jadi, kenapa harus buang-buang uang dengan film horor?


Tapi, bukan berarti saya tak punya kenangan indah (baca : kenangan menakutkan) dengan beberapa film horor. Karya-karya M Night Shymalan seperti The Village dan The Sixth Sense adalah film-film yang cukup membuat saya tertakuti. Dan film-film yang memenuhi unsur menakutkan buat saya, biasanya selalu tak berkaitan dengan darah, pisau, atau musik yang mengiringinya. Memang, kadang-kadang itu cukup membuat saya merinding, namun tak sampai sangat menakutkan. Jadi, wajar saja kalau saya sedang dalam posisi yang agak 'gila' sehingga memutuskan untuk menghabiskan 25 ribu rupiah (baca : bisa untuk beli 3 keping dvd bajakan --- dengan perkiraan 1 dvd = 7 ribu – harga pasaran dvd bajakan di Jakarta dan sekitarnya) untuk menonton film horor.

Di tengah miskinnya film-film bagus diputar di bioskop-bioskop di Jakarta, saya memutuskan menonton genre horor namun yang buatan luar negeri. Bukannya maruk barang impor, hanya saja, saya tahu pasti kualitas film-film horor buatan lokal. Sudah pasti saya akan keluar gedung bioskop dengan muka manyun dan bersungut-sungut karena merasa sudah SANGAT menyia-nyiakan uang saya.

Insidious, judul filmnya. Posternya mengingatkan saya pada poster film horor lainnya yang cukup terkenal dan menakutkan berjudul The Omen. Walau secara kreatifitas, saya tak memberi nilai plus bagi poster film yang mengulang (baca : menjiplak) film lain. Tapi, unsur film yang menakutkan cukup terpenuhi dari tampilan poster film tersebut. Apalagi, saya membaca embel-embel 'From the producer of Paranormal Activity dan Saw

Dua puluh lima ribu saya bayarkan untuk tiket masuk. Saya mulai menonton dengan kepala penuh kritik dan kendali penuh alias tak akan terbawa aliran adrenalin dan berteriak-teriak ketakutan seperti remaja-remaja di sebelah kanan dan kiri saya.

Alhasil, saya mencatat beberapa kritikan bahkan sebelum 5 menit pertama film berlangsung. Pertama, musik terlalu mengganggu. Saya tak melihat visual apapun yang menakutkan selain dari gambaran ruangan di sebuah rumah yang tak menakutkan yang direkam dengan cahaya yang agak redup. Terus-terang saja, musik pembuka yang sangat horor-is, terlalu berlebihan.

Catatan kedua, tema film yang diproduksi tahun 2010 ini terlalu biasa. Kejadian-kejadian horor yang terjadi saat sebuah keluarga pindah ke rumah baru. Tema ini terselamatkan di pertengahan film. Saat itu muncul seorang cenayang yang menyatakan bahwa para hantu yang mengikuti keluarga mereka bukan karena rumah mereka sebelumnya yang berhantu namun karena para hantu mengikuti salah seorang anak yang jiwanya sedang pergi ke alam lain. Niatan para hantu tersebut adalah merasuki tubuh anak tersebut.

Cerita penyelamatan roh sang anak oleh cenayang, agak diperbaharui dengan memasukkan unsur modern ala ghostbuster. Dua asisten cenayang yang berpenampilan seperti agen NSA mulai 'bekerja' di rumah baru pasangan Josh dan Renai Lambert. Unsur-unsur rumah berhantu terpenuhi dan akhirnya sang cenayang muncul dengan opsi penyembuhan yang cukup mengejutkan. Ternyata kemampuan ber adalah turunan dari sang bapak. Maka, untuk menyelamatkan jiwa anak tersebut, bapaknya sendirilah yang harus berkelanan keluar dari tubuh dan mencari jiwa anaknya ke alam baka.

Pencarian itu berhasil. Jiwa anak itu kembali. Namun, ini yang saya suka, kejutan di akhir film. Standar sih, tapi lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Ternyata jiwa sang bapak tak kembali ke alam nyata. Dari gambar foto yang diambil sang cenayang sesaat sebelum mati dicekik, ternyata sang bapak sudah dirasuki oleh perempuan bercadar putih yang sejak dulu mengincar tubuhnya.

Secara keseluruhan, saya tak menjerit-jerit ketakutan, juga tak berkeringat dingin. Namun, di tengah arus film horor lokal yang tak horor sama sekali, Insidious cukup menghibur. Saya suka para pemainnya. Rose Byrne yang sudah sangat saya kenal wajahnya sejak lima tahun yang lalu di film The W Park. Kemudian, saya kembali menonton aktingnya di Troy sebagai pendeta perempuan yang diculik oleh Achilles (Brad Pitt) yang kemudian jatuh cinta padanya. Setelah itu, saya memang tak pernah lagi melihat film yang dia bintangi. Walau demikian, cinta pada pandangan pertama memang sulit disangkal. Saya menyukai Rose Byrne karena tokoh antagonis yang diperankannya di The Wicker Park. Sebagai perempuan yang terobsesi pada seorang laki-laki bernama Matthew (Josh Hartnett), Alex (tokoh yang diperankan oleh Rose Byrne) sampai rela menukar identitasnya menjadi Lisa (Diane Krueger). Walau agak gila, namun peran tersebut cukup menantang dan Byrne menghidupi perannya dengan baik.

Kembali ke Insidious, beberapa adegan horor digarap dengan baik. Satu adegan horor yang menurut saya terbilang baru adalah adegan yang sebenarnya bisa ditertawakan alias agak lucu. Settingnya adalah rumah baru. Renai yang seorang musisi, menghidupkan piringan hitam yang memainkna sebuah lagu klasik yang super melo. Kamera mengikutinya ke dalam ruangan-ruangan di dalam rumah. Salah satu ruangan yang dia datangi adalah ruang bermain. Di dalam ruang bermain ada berbagai jenis mainan termasuk sebuah boneka polisi. Dengan setting waktu di siang hari, tentu tak membuat orang merinding. Saya merasakan kecerdasan si pembuat film justru karena ia keluar dari pakem horor yang biasanya selalu menampilkan situasi di malam hari. Ketegangan terasa alami karena lagu klasik super melo dimainkan di siang hari dengan kamera yang mengikuti si tokoh namun menggambarkan dengan jelas keadaan sunyi senyap di rumah itu. Cahaya yang terang benderang justru mengalihkan pikiran semua orang ketika lagu klasik supermelo itu berubah menjadi lagu klasik nge-beat dan di sudut rumah si boneka polisi berdansa ria. Kemudian, Renai yang sedang keluar membuang sampah sadar mengenai perubahan musik di rumahnya. Ia mengintip lewat jendela. Dan wala! Si polisi berdansa bersama sesosok lainnya. Renai pun masuk ke rumah. Musik kembali berubah ke lagu klasik melo, boneka polisi pun tergolek kembali, namun di balik pintu kuda-kudaan bergoyang. Ketika ia membuka pintu, tak seorangpun di sana. Lalu Renai memeriksa keadaan anaknya, Dalton di kamar, tiba-tiba sesosok anak (hantu) berlarian dengan ceria melewatinya. Untuk adegan itu, saya merasa punya cukup alasan untuk berteriak ngeri. Untuk adegan itu, saya merasa tak sia-sia menghabiskan 25 ribu rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar