Saya
mendapat tawaran tiket gratis nonton film trilogi terakhir Batman
besutan Christopher Nolan, The Dark Knight Rises. Selain karena
gratisan, saya penasaran dengan ending dari cerita yang dua film
sebelumnya sudah saya tonton. Barulah pada hari H, saya melihat
jadwal tayang dan membaca di bagian durasi, saya tercengang : 165
menit! Ini sih sama panjang dengan film-film Bollywood. Keberatan
saya karena dua hal. Pertama, saya harus mengejar kereta ke Jakarta
pada sore harinya, mepet dengan waktu berakhirnya film yang akan saya
tonton pada pukul 12.45 siang itu Kedua, 2 jam 45 menit adalah waktu
yang sangat panjang. Saya bisa saja mati kebosanan di dalam bioskop.
Dengan pertimbangan dan persiapan instan, saya pun pergi ke bioskop
dengan satu tekad, jika film tersebut berubah membosankan, saya akan
kabur dari gedung bioskop.
Layaknya
film superhero, pikiran saya dipenuhi dengan asumsi bahwa plot cerita
yang sama akan diulang seperti cerita-cerita sebelumnya. Terbukti
dari film The Amazing Spiderman yang baru saja tayang. Kalau saja
bukan wajah Andrew Garfield yang berada di balik topeng laba-laba
itu, pasti saya sudah kabur dari gedung bioskop di 10 menit awal
penayangan film.
Menonton
Batman, ternyata jauh berbeda dari Spiderman. Film ini jauh lebih
dewasa, walau sama-sama diberi kategori untuk remaja. Cerita Batman
mengingatkan saya pada franchise
film Spiderman yang dibintangi oleh Tobey Maguire. Kedua tokoh
pahlawan ini sama-sama ingin pensiun dini karena alasan tertentu.
Permasalahan klasik muncul: kejahatan masih meraja lela. Di sinilah
kita melihat kualitas seorang sutradara yang mampu memunculkan
permasalahan secara lebih lihai. Alih-alih memaparkan siapa musuh
tokoh pahlawan bertopeng kelelawar ini, penjahat-penjahat muncul
silih berganti. Tentu saja, kalau melihat para cast dan
track
record mereka,
saya sudah curiga dari awal kalau tokoh Miranda yang diperankan oleh
Marion Cotillard adalah si penjahat besar.
165
menit ternyata adalah waktu yang cukup singkat untuk menceritakan
kisah kota Gotham. Tentu saja, ada satu dua hal yang saya kira patut
dikiritik. Gotham dikenal sebagai sebuah kota imajiner. Namun
keberadaan CIA dan para pembesar militer lengkap dengan tokoh
presiden Amerika Serikat membuat Gotham kehilangan ke-imajinerannya.
Kedua,
latar belakang kebencian Miranda, otak di balik kekacauan yang
terjadi di kota Gotham, agak kurang meyakinkan. Hingga pada menit
terakhir, di kepala saya muncul pertanyaan, memangnya apa sih yang
dikerjakan oleh para karakter di dalam film ini? Mengapa mereka
sampai bunuh-bunuhan, kejar-kejaran, dengan memakai topeng pula.
Terlebih lagi, pada seri yang ketiga ini, muncul pula tokoh bertopeng
lainnya, yaitu Cat Woman/Selina yang diperankan oleh Anna Hathaway.
Selain itu, Bane, salah satu penjahat yang muncul di film produksi
Warner Bross ini, juga menggunakan sejenis masker besi. Jadi,
kita seolah menonton acara pesta kostum.
Untungnya,
The Dark Knight Rises punya cerita yang bagus, alur yang halus, dan
para pemeran yang sangat kredibel. Kekuatan pada cerita dan para
pemeran, tampaknya cukup memuaskan. Sehingga para produser tak perlu
ikut-ikutan maruk menggunakan teknologi 3D. Memang, tak dapat
dipungkiri, berbagai peralatan Batman semakin canggih saja. Namun,
tanpa 3D pun, film ini sudah pas di mata. Cukup menghibur secara
visual, menarik secara cerita, dan tentu saja, 165 menit dan gratisan
pula, bagi saya, The Dark Knight Rises, amat pantas ditonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar