Minggu, 29 Juli 2012

THE DARK KNIGHT RISES : That's A Worthy 165 Minutes


Saya mendapat tawaran tiket gratis nonton film trilogi terakhir Batman besutan Christopher Nolan, The Dark Knight Rises. Selain karena gratisan, saya penasaran dengan ending dari cerita yang dua film sebelumnya sudah saya tonton. Barulah pada hari H, saya melihat jadwal tayang dan membaca di bagian durasi, saya tercengang : 165 menit! Ini sih sama panjang dengan film-film Bollywood. Keberatan saya karena dua hal. Pertama, saya harus mengejar kereta ke Jakarta pada sore harinya, mepet dengan waktu berakhirnya film yang akan saya tonton pada pukul 12.45 siang itu Kedua, 2 jam 45 menit adalah waktu yang sangat panjang. Saya bisa saja mati kebosanan di dalam bioskop. Dengan pertimbangan dan persiapan instan, saya pun pergi ke bioskop dengan satu tekad, jika film tersebut berubah membosankan, saya akan kabur dari gedung bioskop.



Layaknya film superhero, pikiran saya dipenuhi dengan asumsi bahwa plot cerita yang sama akan diulang seperti cerita-cerita sebelumnya. Terbukti dari film The Amazing Spiderman yang baru saja tayang. Kalau saja bukan wajah Andrew Garfield yang berada di balik topeng laba-laba itu, pasti saya sudah kabur dari gedung bioskop di 10 menit awal penayangan film. 


Menonton Batman, ternyata jauh berbeda dari Spiderman. Film ini jauh lebih dewasa, walau sama-sama diberi kategori untuk remaja. Cerita Batman mengingatkan saya pada franchise film Spiderman yang dibintangi oleh Tobey Maguire. Kedua tokoh pahlawan ini sama-sama ingin pensiun dini karena alasan tertentu. Permasalahan klasik muncul: kejahatan masih meraja lela. Di sinilah kita melihat kualitas seorang sutradara yang mampu memunculkan permasalahan secara lebih lihai. Alih-alih memaparkan siapa musuh tokoh pahlawan bertopeng kelelawar ini, penjahat-penjahat muncul silih berganti. Tentu saja, kalau melihat para cast dan track record mereka, saya sudah curiga dari awal kalau tokoh Miranda yang diperankan oleh Marion Cotillard adalah si penjahat besar.

165 menit ternyata adalah waktu yang cukup singkat untuk menceritakan kisah kota Gotham. Tentu saja, ada satu dua hal yang saya kira patut dikiritik. Gotham dikenal sebagai sebuah kota imajiner. Namun keberadaan CIA dan para pembesar militer lengkap dengan tokoh presiden Amerika Serikat membuat Gotham kehilangan ke-imajinerannya.

Kedua, latar belakang kebencian Miranda, otak di balik kekacauan yang terjadi di kota Gotham, agak kurang meyakinkan. Hingga pada menit terakhir, di kepala saya muncul pertanyaan, memangnya apa sih yang dikerjakan oleh para karakter di dalam film ini? Mengapa mereka sampai bunuh-bunuhan, kejar-kejaran, dengan memakai topeng pula. Terlebih lagi, pada seri yang ketiga ini, muncul pula tokoh bertopeng lainnya, yaitu Cat Woman/Selina yang diperankan oleh Anna Hathaway. Selain itu, Bane, salah satu penjahat yang muncul di film produksi Warner Bross ini, juga menggunakan sejenis masker besi.  Jadi, kita seolah menonton acara pesta kostum.

Untungnya, The Dark Knight Rises punya cerita yang bagus, alur yang halus, dan para pemeran yang sangat kredibel. Kekuatan pada cerita dan para pemeran, tampaknya cukup memuaskan. Sehingga para produser tak perlu ikut-ikutan maruk menggunakan teknologi 3D. Memang, tak dapat dipungkiri, berbagai peralatan Batman semakin canggih saja. Namun, tanpa 3D pun, film ini sudah pas di mata. Cukup menghibur secara visual, menarik secara cerita, dan tentu saja, 165 menit dan gratisan pula, bagi saya, The Dark Knight Rises, amat pantas ditonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar