Senin, 11 Juli 2011

SERDADU KUMBANG : FILM MENYESAKKAN YANG SARAT PROMOSI DAN KHOTBAH

Pertama kali melihat poster Serdadu Kumbang, saya langsung mengharamkan film ini. Pasalnya, sebuah ikon perusahaan pertambangan yang kerap dituduh sebagai perusahaan perusak lingkungan didapuk menjadi sponsor utama film ini. Namun, di tengah minimnya film bagus (baca : film impor) beredar di Indonesia, saya tak punya pilihan banyak. Terutama karena saya membawa anak berumur 7 tahun. Jadi, jatuhlah pilihan saya pada film Serdadu Kumbang.


Sebagai referensi, saya sempat membaca riview film tersebut di website. Riview yang harusnya memberikan pemahaman terhadap calon penonton, malah membuat saya pusing 7 keliling. Alur ceritanya terlalu ribet dan bercabang-cabang. Belum menonton saja saya sudah bingung.

Film ini dibuka dengan serangkaian khotbah dari tokoh Papin (Putu Wijaya) tentang Tanah Sumbawa. Khotbah ini secara kontiniu muncul di sepanjang film. Entah karena film ini ditujukan bagi penonton anak-anak yang mungkin dianggap tak mampu menarik nilai cerita tanpa dipaparkan secara lugas. Jadi, bagi saya, film ini justru terlalu menggurui.

Cerita tentang kondisi pendidikan di daerah terpencil adalah tema yang sebenarnya cukup menarik jika digarap dengan lebih mendalam. Sayang, ada beberapa hal yang sebenarnya terlalu berlebihan dan tak masuk akal. Misalnya saja, Guru Imbok (Ririn Ekawati) yang ditampilkan sebagai guru yang sangat berdedikasi. Rasanya hal itu terlalu berlebihan. Terutama karena latar belakang pengabdian sang guru tak digarap dengan baik. Jadi, kesan yang tampil jadi sangat berlebihan. Satu detail yang juga mengganggu adalah badge nama para guru yang terlalu mengkilap. Seingat saya, selama bekerja di Pulau Nias, tak ada guru yang menggunakan badge nama, apalagi badge nama yang supermengkilat.

Pemilihan tema pendidikan di pelosok akan selalu mengingatkan penonton pada Laskar Pelangi yang sudah rilis dan sukses di tahun 2008 Sangat beresiko kalau menggarap film sejenis tanpa sesuatu yang khas. Untungnya, Serdadu Kumbang punya tokoh Pak Alim (Lukman Sardi) yang berperan sebagai guru superkejam. Sayang, permasalahan inipun dimunculkan sambil lalu saja. Rasanya sia-sia Alenia Production membawa nama besar Lukman Sardi untuk memerankan tokoh ini kalau tak sampai klimaks. Di dalam salah satu scene misalnya, Pak Alim menghukum si tokoh utama, Amek (Yudi Miftahuddin), atas kesalahan yang tak dilakukannya. Masalah ini kemudian dibiarkan begitu saja. Amek ngambek dan bolos sekolah. Tapi, tak ada solusi apapun atas permasalahan ini. Kan, lebih baik kalau Pak Alim kemudian disadarkan bahwa ia telah salah menghukum muridnya, meminta maaf secara terbuka, dan berdamai.

Selain masalah pendidikan, Serdadu Kumbang, masih disesaki oleh beberapa tema lainnya. Di antaranya adalah hobi Amek (Yudi Miftahuddin) yang sering berpose sebagai presenter tv namun kontradiksi dengan hobi balapan kudanya yang mengingatkan saya pada film pemenang Documentary Competition 2005, Joki Kecil. Sayang, tema inipun digarap seadanya. Andai saja salah satu hobi tersebut digarap dengan cukup cemerlang, maka saya yakin film ini lebih menginspirasi.

Tema lain yang sebenarnya saya sangat suka adalah hubungan di dalam keluarga Amek. Ada tokoh ibu (Titi Sjuman), ayah (Asrul Dahlan), dan Minun. Hubungan di antara para tokoh ini cukup kompleks untuk digarap lebih dalam. Zack, sang ayah, yang merupakan TKI yang baru pulang dari Malaysia adalah pembawa masalah di dalam keluarga. Sementara ibunya, Siti, adalah tipikal ibu pekerja keras. Dan Minun adalah kakak perempuan yang beprestasi di sekolah dan sangat menyayangi Amek.

Saya tiba-tiba teringat pada sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu. Judulnya Dear Frankie (Miramax, produksi 2005). Film ini menceritakan kisah seorang anak bernama Frankie (Jack McElhone) yang sangat merindukan ayahnya yang sedang melaut. Alkisah, ternyata ibunya, Lizzie (Emily Mortimer), ternyata selama ini mengirim surat atas nama ayah Frankie padahal sebenarnya mereka melarikan diri dari ayah Frankie. Penantian sang anak dan konflik batin ibunya dibahas selama 105 menit. Temanya sebenarnya cukup sederhana dan tak berkembang ke mana-mana. Menonton Serdadu Kumbang, saya sangat berharap film ini bisa lebih difokuskan kepada relasi antaranggota keluarga Amek. Konflik batin mereka sudah digambarkan dengan baik oleh para tokohnya. Durasi dua jam saya yakin tak cukup panjang untuk mengeksplorasi tema ini.

Film ini lagi-lagi menjadi terlalu ribet karena penonton disuguhi lagi dengan cerita tentang relasi Amek dan dua orang sahabatnya, Umbe dan Acan. Ditambah lagi, muncul pula tokoh Ketut yang merupakan pesan sponsor. Bahkan, Nia Zulkarnain, sang produser, pun ikut nimrung berperan menjadi dokter yang dibayar oleh perusahaan untuk mengoperasi bibir sumbing Amek. Jadilah, film ini gado-gado. Mungkin, kalau dijadikan sinetron, film ini jauh lebih longgar. Tentu saja, besar harapan saya, sesi khotbah dan pesan sponsor dihilangkan dari setiap episodenya. Atau, kalau mau, sesi khotbah adalah pembawa tema di setiap episodenya. Saya yakin, Putu Wijaya masih cukup karismatik untuk membawa pesan-pesan saran makna yang dapat memberikan angin segar persinetronan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar